
Riset Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si, Kultur Ujaran Kebencian di Ruang Virtual
Wakil Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Atwar Bajari, M.Si., memaparkan hasil risetnya yang berjudul “Kultur Ujaran Kebencian dalam Ruang Virtual (Social Media)” dalam Podcast Satu Jam Berbincang Ilmu (SaJaBi) episode ke-64 pada 29 Januari 2022 lalu. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Dewan Profesor Unpad dan dihadiri oleh para Guru Besar Unpad diantaranya Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D., dan Prof. Dr. Ir. H. Mahfud Arifin, MS., melalui Zoom Meeting.
Prof. Atwar menjelaskan bahwa ujaran kebencian itu biasanya berkaitan dengan kata-kata yang menghasut dan mendukung kebencian terhadap suatu ras, warna, etnis, gender, kebangsaan, agama, orientasi seksual, atau bentuk lain dari diskriminasi seorang individu. Sementara itu, dalam ruang media sosial di kalangan anak muda, isu yang menjadi pemicu ujaran kebencian yang paling tinggi adalah rasisme, seksisme, agama, hingga homofobia.
Prof. Atwar menggunakan metode etnografi komunikasi yang juga memanfaatkan data anlytics dalam melakukan risetnya. Terdapat 11.504 komentar dari Facebook yang dianalisis dengan analisis kualitatif dan kuantitatif. Hal itu dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh ujaran kebencian itu muncul di ruang media sosial, dalam hal ini yang berkaitan dengan isu Pilpres 2019 dan pandemi COVID-19.
Ujaran kebencian yang ada di kolom komentar, khususnya pengguna Facebook di Indonesia, itu cenderung berlangsung dua arah. Misalnya, ketika kelompok pro-pemerintah melemparkan isu tertentu, maka pihak lain akan memberikan perlawanan dan begitu seterusnya. Menurut hasil analisis Prof. Atwar, hal ini layaknya seperti obrolan yang terjadi secara langsung. Hal tersebut juga disebabkan oleh sifat user generated content yang dimiliki oleh media sosial.
Salah satu yang menarik adalah meskipun akun kelompok pro-pemerintah atau oposisi mengunggah status yang bersifat netral, hal itu tetap bisa memicu munculnya ujaran kebencian di kolom komentar.
“Mereka (akun pro-pemerintah atau oposisi) membuat statement yang netral, tetapi pada praktiknya tetap saja bisa menimbulkan serangan-serangan dalam bentuk kata-kata yang menyinggung atau kata-kata yang membuat orang lain tersinggung dengan komentar para netizen,” ujar Prof. Atwar Bajari.
Beliau juga memetakan 10 isu di Facebook terkait COVID-19. Misalnya, isu tentang respons kepada pemerintah pusat saat pandemi di akun yang pro-pemerintah. Setelah dianalisis, terdapat 65% komentar diduga mengandung ujaran kebencian di dalamnya. Isu lain yang dianalisis di antaranya ada isu ekonomi, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), protokol kesehatan, kenormalan baru, hingga isu agama.
Untuk kata yang digunakan dalam ujaran kebencian, biasanya mereka menggunakan kata sifat yang berkaitan dengan hal menjijikan, menyedihkan, jelek, bodoh, kasar, sampai terbelakang. Tujuan dari disampaikannya kata-kata tersebut adalah untuk menghina, mengintimidasi, menuduh, menyumpahi, hingga mempromosikan kekerasan. Prof. Atwar menyampaikan dungu dan otak menjadi salah dua kata populer yang digunakan oleh para netizen Indonesia dalam penggunaan ujaran kebencian. “Kata otak juga cukup populer dalam penggunaan ujaran kebencian,” ucap beliau.
Prof. Atwar menjelaskan pula terkait bagaimana proses kemunculan dari ujaran kebencian. Diawali dengan adanya peristiwa yang dibuat menjadi sebuah berita, lalu direspons oleh para pemengaruh (influencer) dan/atau pendengung (buzzer) lewat akun media sosialnya, setelah itu barulah banyak komentar bermunculan yang juga termasuk di dalamnya adalah ujaran kebencian. Setelah Prof. Atwar memaparkan hasil risetnya, terdapat pula sesi diskusi yang membahas tentang hubungan ujaran kebencian dengan demokrasi di suatu negara, hingga korelasi karakter seseorang di kehidupan sehari-hari (dunia nyata) dengan di media sosial. Acara Satu Jam Berbincang Ilmu atau SaJaBi episode 64 ini dapat ditonton ulang melalui YouTube SaJaBi – Satu Jam Berbincang Ilmu. (NA)
Tag:fikomunpad, hasilriset